Kamis, 30 Januari 2014

Prasasti-Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya/Panai mengenai cikal bakal Mandailing



A.  Prasasti-Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya mengenai cikal bakal Mandailing:
(Suatu prapandang)
1. Menurut prasasti Kedukan Bukit (682M)

4. apunta hiyavulan jyeşţha d<m> maŕlapas dari minānga
5. vala dualakşa dangan ko-(sa)tāmvan mamāva yam
terjemah:
4. bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga
5. tambahan membawa bala tentara dua laksa dengan perbekalan

Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (karena tamwan berarti 'temuan'). Kemudian ada yang berpendapat Minanga berubah tutur menjadi Binanga, sebuah kawasan yang terdapat pertemuan Sungai Batang pane dan Sungai Barumun (Provinsi Sumatera Utara sekarang).
Dimaknakan bahwa di kawasan ini sudah ada suatu peradaban yang mendapat kunjungan dari Raja Sriwijaya.

2. Prasasti Kota Kapur (686 M)

5. jaya. Talu muah ya dnan gotrasantanana. tathapi savankna yan vuatna jahat. makalanit uran. makasuit. makagila. mantra gada visaprayoga. udu tuwa. tamval.
terjemah:
5. dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti meng¬ganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja,

Istilah marga pun telah dikenal abad ini.

B.  Prasasti-prasasti di Angkola dan Mandailing (Dhaksina)

Jalur Pengembangan Adat, Hukum dan Aksara Angkola/Mandailing:
(Suatu Pandangan)
 
Seringkali dalam beberapa kesempatan diskusi dengan saudara-saudara kita yang menyatakan dirinya “Bangsa Batak” mengatakan: “Kalau kalian tidak mau disebut Batak Angkola/Mandailing kenapa memakai marga dan adat kami Dalihan Na Tolu”?

Bukankah perkembangan adat dan hukum tersebut berasal dari “par Selatan” (Mutiara dari Dhaksina )? 

Hal yang mendukung hipotesis bahwa yang dimaksud suatu kesatuan budaya (culture area) Mandailing/Angkola itu meliputi kekuasaan kerajaan Panai di masa lampau dimana setelah kedatangan suku Tamil dari India dibangunlah Candi/Vihara pada abad 11 – 14 mulai dari kawasan pertemuan sungai, Batang Pane, Sirumambe dan Barumun (lalu lintas komoditi ekspor kapur barus ke pantai timur) di Padang Lawas, Sosa, Sipirok, Simangambat (Siabu), Pidoli (Panyabungan), sampai ke Tanjung Medan (Pasaman) lalu-lintas jalur Emas ke Singkuang pantai barat (Baca Legenda Si Sampuraga) ialah:

1).    PrasastiGunung Tua (Setianingsih, dkk. 2003: 11 – 12)
Terjemahan:
~      “Selamat tahun saka 946 (1024 M), bulan Caitra,hari ketiga masa bulan terang, hari Jumat”;
~      “Ketika itu juru pandai besi yang bernama Suryya (Namora Pande Bosi I?) membuat (patung) bhatara Lokanātha, dari semua pekerja yang baik dari segala pembuatan,harapan saya”;
~      “Bagi semua kebijaksanaan yang tinggi dan lengkap”.
Inilah asal mula penyusunan “Surat Tumbaga Holing” yang digunakan sebagai tuntunan bagi masyarakat yang heterogen untuk melaksanakan kerja besar (“horja”) pada masa itu.

2).    Prasasti Sitopayan 1 (Setianingsih, dkk. 2003: 7 – 8)
~  tatkala hang tahi si ranggit
~  kabayin p wanyawari babwat bagas
~  brahala satap (sisi lain)
Terjemahan:
 Ketika itu Hang Tahi, Si Ranggit (dan)
 Kabayin Pu Anyawari membuat rumah
~  Berhala satu atap

         Hang Tahi (tokoh Melayu), si Ranggit (tokoh setempat atau Angkola) keduanya suku Mundha beragama Buddha dan Kabayan PuAnyawari tokoh beragama Hindu (wakil pendatang Holing/Keling) membangun Biara bersama (sinkretisme Hindu dengan Buddha atau Buddha Tantrayana/Wajrayana) kemudian pengikutnya disebut sebagai Munda/Mandala Holing atau Mandailing. ~  kabayin p wanyawari babwat bagas (Bhs. Melayu Tua) lebih dekat kepada bahasa Angkola Mandailing mambuat (mambaen) bagas dari pada mambahen jabu bahasa Toba. Tampak di sini telah terbentuk sistim dimana ketiga klan (marga) bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan kelak disebut dengan Dalian Na Tolu.

3).    Prasati Sitopayan 2 (Setianingsih, dkk. 2003: 8)
Terjemahan:
~      “Pu Sapta, Hang Buddhi, Sang Imba dan Hang Langgar tatkala itu”;
~      “Membuat (tempat) bertapa wihara sang raja”.
         Tokoh tersebut di atas membangun candi itu dinyatakan adalah sebagai tempat bertapa (Vihara atau Biara) sang raja bukan istana.

4).    PrasastiLobu Dolok 1, 2, dan 3 (Setianinggsih, dkk. 2003: 9 – 10)
Terjemahan:
~      “datanglah,datanglah, menjadi miliknya”;
~      “paradat”;
~      “paruhum”.
         
“datanglah,datanglah, menjadi miliknya” bukankah ini namanya adat manopot kahanggi agar memperoleh hak sama di daerah itu? dan Menyatakan pada masa itulah disusun adat (1. Hang Tahi - tokoh Melayu, 2. si Ranggit - tokoh setempat atau Angkola keduanya suku Mundha beragama Buddha dan 3. Kabayan PuAnyawari - tokoh beragama Hindu (wakil pendatang Holing/Keling)
sekarang disebut Dalian Na Tolu) dan hukum (yang melakukan/mengikuti adat dan hukum atau hakim). 

5).    Prasasti Raja Soritaaon Padang Bujur (Setianingsih, dkk. 2003: 10 – 11)
Terjemahan:
~      “Raja Sori”;
~      “Taon dewasa”;
~      “Pemberani, kuat, dan dewasa”;
~      “Mempunyai kemuliaan (kesaktian, wibawa)”;
~      “di daerah Padang Bujur”.
         Diceritakan bahwa dari hasil assimilasi dengan penduduk setempat melahirkan seorang calon raja yang diberi nama Soritaon. Bahwa istana Raja Soritaaon pada masa itu berada di daerah Padang Bujur (Padang Lawas).

6).    Prasasti Batu Gana 1
Prasasti ini ditemukan di Biaro Bahal 1, Desa Bahal, Padang Bolak, Tapanuli Selatan dan saat ini prasasti Batu Gana 1 disimpan di Museum Negeri Sumatera Utara.
Transkripsi Prasasti Batu Gana 1 (Setianingsih, dkk, 2003 :6-7) : 

1. ……….lanarjakdata
2. ……….yapawaga sawah ja i sā
3. ……….kabanatya
4. ……….pwa n mangsak ā
5. ……….a parahu dan pahilira
6. ……….ba btu ganam ya di padang
7. ……….damarhaya mahilir
8. ……….n prapa darmang pangkara diyam a
9. ……….maha dana ……. manusuk simā i nan mularang
10……….narann kabayaj pu gwa kudhi hang dajā kudhi haji bawabwat parnnosamuha.

7).    Prasasti Batu Gana 2
Prasasti ini ditemukan di Desa Batu Gana, Padang Bolak, Tapanuli Selatan dan saat ini Prasasti Batu Gana 2 masih insitu.
Transkripsi Prasasti Batu Gana 2 (Setianingsih, dkk, 2003 :13-14) :
1. ……….ila do ho na ngarata / ti di hamo ba …… yo (to) ya(ta) …..
2. ……….do i ke ku do i pa ke amang di powang ku bayo bamang
3. ……….rapo ni satan. Mangala bubuh andon. Maen. San ra
4. ……….da mang yaya la. Do huta le baba nyewa. Bil. Nga bararusa
5. ……….da (?) rena nda nangam. Bana nabi (b ah) ganag dogatem. Angnara
6. ……….da sa hi gudoha mabenga. Ha de sa be met ja ya (ta)mabauh. As ban (b/p) dita
7. ……….nu …………da dung busa lolibuno i ………la calak pana ledang a
8. ……….hab bu sa di bani no a ha (ca) gap. Di nadomi
9. ……….ba (wa) bani dala tuwisa ni hate da
10. ……….dang paharat nga….basa bunda dongi bada
11. ……….nurat. na……nan. ma…
12. ……….pa nak. Wa….
13. ……….ngak. Ta i bada a a // u //
14. ……….bajan. Nya
15. ……….iya na….

         Lihat tata bahasanya “ila doho nangarata dihamu bayo....Ia calak pana ledang (Ia halak Mangaledang?)....dst.” bukankah itu lebih dekat kepada dialek Angkola/Mandailing?
Menurut tuturan marga yang tertua di kawasan Angkola dan Mandailing adalah Dalimunte keturunan/klan dari Ompu Jalak Maribu dan anak borunya pada masa sesudahnya marga Harahap ikut menghadang kedatangan marinir Rajendra Chola (1024) menyerang/mengalahkan kerajaan Panai. Sebenarnya tujuan Rajendra Chola bukan untuk menghancurkan kerajaan Panai tetapi mengajak kerja sama mengekspor komoditi Kapur Barus dan Emas yang banyak terdapat di kawasan itu. Turut dalam mission tersebut 1500 warga keling siap bekerja sama dengan penduduk setempat. Tidak terlihat adanya assimilasi dengan penduduk setempat namun adanya pergaulan ini menumbuhkan/kemajuan peradaban pada suku Angkola/Mandailing
Catatan: Setelah ditemukannya kawasan yang kaya akan deposit  emas maka masyarakat tambang sebagian besar pindah ke Pidoli Mandailing yang sekarang. Keadaan inipun tidak berlangsung lama karena serangan Majapahit 1365 M (ekspedisi pamalayu) seperti yang dituturkan pada kitab Negarakertagama. Menyusul kemudian dengan hilangnya pendatang keling India (pindah ke Sum. Timur/wabah?) memasuki era Mandailing baru.
Demikian juga mengenai tulisan/Hurup Tulak Tulak vs Aksara Batak, jikalau Angkola/Mandailing yang bersinggungan langsung dengan kerajaan Panai/Sriwijaya maka sudah dapat dipastikan pengembangan aksara itu melalui jalur Dhaksina – Utara. (MND)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar